KILAS SEJARAH MUSIK UNDERGROUND INDONESIA

Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia,
Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless,
“Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.

Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam usik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band2x yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota2x besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut.
1xxxBANDUNG UNDERGROUND


Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya.
Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.
Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.
Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan juga lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis.
Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, omogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.
Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di baptis di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.


2xxxUNDERGROUND VS IDEALISME

“Kami menyebut underground sebagai
spirit bermusiknya. Di Bandung underground nggak ada yang istilah paling
hebat. Jadi, semua bersaing. Semua memiliki kubu dan massa
masing-masing. Beda dengan di Jakarta, dulu ada satu grup yang menjadi
pimpinan underground. Di Sukabumi juga begitu, kata salah satu penyiar
Radio MGT FM Bandung. Karena kata underground sering diartikan salah
kaprah, maka bagi sebagian musisi, kata underground diartikan sebagai
band-band pembawa lagu-lagu keras, “wah yang ngomomg kayanya blom lulus
buat jadi musisi nih” tapi buat banyak musisi lainnya, underground bisa
diisi segala macam jenis musik, selama mereka belum masuk pada major
label.
Banyak
band2x yang sekarang bernaung di major label, background aslinya adalah
band indie juga. toh buat mereka ga ada masalah dengan penggemar
panatik mereka ketika masih band indie, apa yang dicapainya sekarang
adalah titik kesuksesan berkarir, soalnya kita sedang di dalam ruang
lingkup rezeki kalau memang kita bisa masuk ke major label knapa ngga
kita manfaatin semaksimal mungkin bukan berarti indie label ngga
ngejanjiin masa depan yang bagus. ini tinggal soal peluang yang harus
atau ngga diambil sama sekali.
Aliran
musik dalam underground bisa sangat beragam, mau yang load voice,
midlle voice sampai yang kalem pun itu bisa, yang penting semangat dalam
pembawaan nya aja yang jangan di lupain. soalnya semangat / spirit ini
lah yang paling penting “UNDERGROUND SPIRIT”. ambil contoh, ketika kita
mendengarkan beberapa buah lagu : return of zelda-system of a down,
enter sandman-metallica dan american idiot-green day. Yang kita tahu ke
tiga lagu tsb sama2x load voice, sama2x dimainkan dengan peralatan musik
yang ga jauh beda jenisnya, tapi kalo kita telisik lebih dalam pasti
ada banyak perbedaan yang mencolok dari ke tiga nya, apalagi kalo bukan
pembawaan ama spiritnya. Hal ini juga lah yang dapat membedakan jenis
musik dan aliran apa yang mereka mainkan. Begitu pula dengan undergound,
klo selalu di deskripsikan dengan musik yang keras, tentunya itu salah
besar.
Namun
memang underground lebih dekat dengan jenis musik metal. Jenis musik
ini memang jauh dari incaran perusahaan rekaman besar yang, yang biasa
disebut major label. Bahkan ada pendapat agak ekstrem, “Kalau band indie
masuk major label, pasti konsep bermusiknya jadi beda, karena harus
disesuaikan dengan pasar, dan tak dapat beridealis ria lagi.
Pendapat inilah yang ditolak oleh Beng-Beng, Jun Fan Gung Foo dan Noin Bullet dari Bandung. Noin Bullet yang memainkan musik ska-core,
awalnya memang indie label, namun kini masuk lingkaran major label
Warner Music Indonesia. “ Tapi musik kami tak berubah. Semua lagu yang
kami jual dengan indie label, langsung diedarkan lagi oleh Warner,
dengan label Warner Music Indonesia. Tanpa berubah, tanpa didikte
siapapun, “ kata Chairul, gitaris Noin Bullet. Bersama Beng-Beng, ia
curiga, jangan-jangan anak-anak indie banyak iri, karena Pas, Noin
Bullet dan beberapa band indie lainnya bisa masuk major label, sementara
mereka belum. http://www.newsmusik.net/
Ngomong2x
soal idealisme, sebagian besar band2x indie mengusungnya
baik dalam karya lagu, pementasan bahkan ada yang membawa idealisme
tersebut dalam kehidupannya sehari – hari. Macam2x jenis idealisme yang
di usung band2 indie tsb, diantaranya : Idealis terhadap isu anti
kemapanan, Idealis terhadap isu anti major label, Idealis terhadap isu
sosial, politik dan ekonomi bahkan ada yang lebih extrem yaitu Idealis
dengan atheisme atau tidak percaya terhadap adanya Tuhan. Cuman untuk
point yang ke empat ini kita akan sangat sulit untuk menjumpainya.
Banyak
band-band indie yang sejak awal sudah idealis salah satunya alergi sama
major label, dan tak mau menawarkan lagu2x karyanya ke sana. Padahal
banyak contoh menarik tentang band-band indie yang masuk major label,
seperti Netral, Pas, Jun Fan Gung Foo dan Sucker Head.
Berikut
adalah sebagian kecil band2x indie asli made in bandung yang mungkin
dapat gw inget, yang eksistensinya masih dapat kita jumpai :
Jack
and the four man, Koil, Polyester embassy, The tomato, Rocket rocker,
Alone at last, Closehead, Mobil derek, Disconnected, The s.i.g.i.t,
Mocca, Tcukimay, Pure saturday, A stone A, Retrieval, Restless,
Hellgods, Jeruji, Laluna, Maymelian, Burgerkill, Bak sampah dll
Akhirnya,
dalam keluarga underground alias independen itu, ada jenis musik yang
beragam : industrial-techno, hardcore, brutal death metal, punk,
hardrock, ska, alternative, black metal dan lainnya.
3xxxUNDERGROUND VS INDIE
Indie Indonesia Era 2000-an
Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an?
Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam.
Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan. Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom indie dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non-mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah indie atau underground ini di tanah air.
Sebagian orang memandang istilah underground semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang sell-out, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih elastis dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.
Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi panglima sekarang ini